Sekelumit Kisahku Bersama Cinta
Cinta begitu indah, itu yang kukatakan pada diriku setelah begitu lamanya aku memvonisnya tak lebih dari kata-kata kosong tanpa makna.
Sekarang, denganmu, betapa kurasa bahwa mencintai adalah anugerah terindah bagiku. Betapa bodohnya aku karena telah mengkambing hitamkan kata ‘cinta’.
Bagaimana tidak, kini aku mencintaimu, pria pilihanku, imamku, suamiku, di bawah bendera halal. Farisul ahlam, yang memang telah ditakdirkan bagiku.
Kini bagiku cinta adalah sebuah kata yang indah, merangkai kata menjadi sajak dan puisi, merangkum warna menjadi pelangi.
Tapi, betapa bersamamu juga untuk pertama kalinya aku merasakan perihnya rasa rindu. Baru kusadari bahwa cinta selalu menggandeng rindu. Dan semakin aku mencinta, semakin aku merindu. Semakin kau mencintaiku, semakin aku takut kehilanganmu.
Aku bertanya pada langit malam dan angin sepoi yang berhembus, apakah rindu harus sepahit ini, seperih ini, sesakit ini? Tapi mereka tak menjawab.
Aku bertanya pada bintang gemintang, tapi ia hanya berkedip, meredup, kemudian kembali terang. Inginku bertanya pada bulan, namun ia tak juga datang.
Malam selalu bertema rindu, tak pernah jauh dari kata itu. Begitupun siangku selalu berhiaskan rindu. Perih, perih tak terperi.
Saat kau datang menemaniku, hatiku melayang tinggi menggapai cakrawala, betapa indah sebuah pertemuan, dan betapa berat sebuah perpisahan.
Aku berusaha tegar, dan tak ada yang dapat kulakukan kecuali mencoba tegar. Namun tak selamanya berhasil, masih saja aku terganggu dengan rasa ini.
Ah, rindu, tak bisakah kau pergi sejenak saja? Biarkan tidurku tenang, biarkan penantianku penuh senyuman…
Kadang aku malu padamu, bahkan pada diriku sendiri saat butiran air mata jatuh tanpa ragu membasahi pipiku. Namun aku tak kuasa, bukan aku yang memaksanya keluar, namun hati yang berbicara. Bahkan seandainya kutahanpun, aku takkan bisa.
Ah tapi biarlah, untuk apa aku menyembunyikannya? Bukankah baik bila kau tahu betapa aku mencintaimu, kasih?
Saat sepi menyergap hatiku, tak ada yang dapat kulakukan kecuali menengok layar hape, mengharapkan ada sepatah kata yang kau kirimkan, namun bila tak ada, hatiku memohon pada-Nya, semoga kau disana baik saja.
Mungkin saja dengan menjadikan cinta kita ini karena Allah, kita akan menuai lebih banyak lagi kebaikan. Dan mungkin saja perihnya rindu takkan lagi terlalu terasa.
Teruslah menjadi sosok terbaik bagi kami, semua orang di sekitarmu, jadilah anak yang terbaik, saudara terbaik, guru terbaik, sahabat terbaik, ayah terbaik, dan suami terbaik.
Seandainya memang rindu harus seperih ini, aku takkan banyak mengeluh, karena di surga kelak aku akan melupakan rasa perih. Dan juga, kutahu, apabila aku merindu, kaupun di sana juga merindu…
Allah, jaga selalu cinta kami di dunia ini, hingga ajal memisah, kemudian kembali jodohkan kami kelak di surga-Mu. Karena sungguh, rasa bahagiaa ini tak abadi, melainkan bila kau tuliskan kembali nama kami dalam daftar nama para penghuni surga-Mu yang tertinggi. Aamiin…
Written
on November 26, 2013